Gadai Syariah, Secara etimologi dalam bahasa Arab, kata ar-rahn berarti “tetap” dan “lestari”. Kata ar-rahn juga dinamai al-habsu artinya “penahanan”, seperti dikatakan ni’matul rahinah, artinya “karunia yang tetap dan lestari”.
Pengertian yang terkadung dalam istilah tersebut “menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan utang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang atau ia bisa mengambil sebagian (manfaat) barang itu.
Ar-rahn adalah menahan salah satu harta si peminjam sebagai jaminan atas yang diterimanya. Barang yang ditahan tahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bawah rahn adalah semacam jaminan utang atau gadai.
Gadai adalah menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan utang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima, sedang menururt Hasbi Ash Shiddieqy, rahn adalah akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran sempurna darinya.
Jadi, kesimpulannya bahwa rahn adalah menahan barang jaminan milik si peminjam (rahin), baik yang bersifat materi atau manfaat tertentu, sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang diterima tersebut memiliki nilai ekonomis, sehingga pihak yang menahan (murtahin) memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian hutangnya dari barang gadai tersebut apabila pihak yang menggadaikannya tidak dapat membayar tepat waktunya.
Landasan pokok Hukum Rahn (gadai syariah) adalah Al-Qur’an, Surat Al- Baqarah ayat 283 : “Jika kamu dalam perjalanan (dan kamu melakukan muamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dapat dijadikan sebagai pegangan (oleh yang mengutangkan), tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanat (utangnya) dan hendaknya ia bertakwa kepada Allah SWT, Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyiak kesaksian, karena barang siapa menyembunyikannya, sungguh hatinya kotor (berdosa), Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Ayat tersebut secara eksplisi menyebutkan “barang tanggungan yang dapat dijadikan sebagai pegangan (oleh orang yang mengutangkan)”.
Ar-rahn adalah menahan salah satu harta si peminjam sebagai jaminan atas yang diterimanya. Barang yang ditahan tahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bawah rahn adalah semacam jaminan utang atau gadai.
Gadai adalah menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan utang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima, sedang menururt Hasbi Ash Shiddieqy, rahn adalah akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran sempurna darinya.
Jadi, kesimpulannya bahwa rahn adalah menahan barang jaminan milik si peminjam (rahin), baik yang bersifat materi atau manfaat tertentu, sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang diterima tersebut memiliki nilai ekonomis, sehingga pihak yang menahan (murtahin) memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian hutangnya dari barang gadai tersebut apabila pihak yang menggadaikannya tidak dapat membayar tepat waktunya.
Landasan pokok Hukum Rahn (gadai syariah) adalah Al-Qur’an, Surat Al- Baqarah ayat 283 : “Jika kamu dalam perjalanan (dan kamu melakukan muamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dapat dijadikan sebagai pegangan (oleh yang mengutangkan), tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanat (utangnya) dan hendaknya ia bertakwa kepada Allah SWT, Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyiak kesaksian, karena barang siapa menyembunyikannya, sungguh hatinya kotor (berdosa), Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Ayat tersebut secara eksplisi menyebutkan “barang tanggungan yang dapat dijadikan sebagai pegangan (oleh orang yang mengutangkan)”.